Minggu, 30 Juni 2013

keterbacaan bahan bacaan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penyampaian informasi atau pesan (message) melalui media tulis atau cetak ialah sejauh mana pesan itu dapat ditangkap, dimengerti, dan dipahami oleh pembaca. Hal itu perlu karena pesan yang penting dan bermanfaat akan menjadi sia-sia kalau si penerima pesan atau pembaca tidak dapat menangkap pesan itu dengan baik. Kemampuan membaca dan kemampuan memahami makna bacaan dianggap merupakan persyaratan awal yang perlu dimiliki seseorang untuk dapat menangkap dan memahami pesan yang disampaikan melalui media tulis/cetak. Akan tetapi persoalannya tidak sesederhana itu. Apabila dilihat kegiatan menulis dan membaca sebagai suatu proses komunikasi, maka tujuan komunikasi sebenarnya tidak hanya sebatas pesan itu sampai dan dipahami oleh pembaca tetapi diharapkan dapat memberikan pengaruh sehingga terjadi perubahan perilaku pembaca (dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak sadar menjadi sadar, atau dari tidak mampu menjadi mampu berbuat). Lebih jauh, Rudolf Flesch (1962) berpendapat bahwa keberhasilan penyampaian pesan ditandai dengan pembaca membacanya lebih cepat, lebih menikmatinya, lebih mengerti, dan mengingatnya lebih lama. Pendapat tersebut selaras dengan prinsip belajar dengan menggunakan bantuan media.
Dalam proses pembelajaran yang menggunakan bahan belajar cetak sebagai sumber belajar utama, di samping pembelajar, keterbacaan (readability) menjadi permasalahan tersendiri. Berdasarkan berbagai penelitian diketahui bahwa pebelajar mendapat dan memahami bahan belajar lebih banyak dari buku dari pada sumber belajar lainnya. Kesimpulan ini cukup beralasan mengingat informasi dalam buku dapat dibaca berulang kali, direnungkan, dibedah, dan didiskusikan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan fungsi buku sebagai sumber informasi, pesan yang disampaikan melalui buku perlu dirancang, disusun dan disajikan dalam bentuk yang tidak saja menarik secara visual tetapi juga mudah dimengerti. Apalagi dalam penyusunan bahan belajar mandiri, seperti modul, keterbacaan bahan belajar menjadi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran oleh karena pebelajar diharapkan dapat memahami bahan belajar tanpa bantuan atau sesedikit mungkin menggunakan bantuan orang lain.
Minat dan kegemaran membaca diperlukan dalam membangun masyarakat belajar. Salah satu hambatan dalam menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca ialah keterbacaan bahan bacaan. Kesulitan memahami bahan bacaan memperlemah dan kadang-kadang mematikan motivasi membaca. Bahan bacaan yang tersedia sulit dipahami dilihat dari bahasa yang dipergunakan dan konsep (isi) yang disampaikan terlalu sukar untuk dipahami sehingga tidak menarik untuk dipelajari. Dengan perkataan lain bahan bacaan tersebut mengandung keterbacaan yang rendah. Akan tetapi tidak jarang terjadi dalam hal yang demikian, kemampuan membaca pebelajarlah dijadikan alasan rendahnya pemahaman. Atau ada kalanya kurangnya pemahaman itu dianggap karena pebelajar kurang atau tidak konsentrasi ketika membaca. Padahal apabila dikaji lebih lanjut, kelemahan itu terdapat pada keterbacaan dalam buku itu sendiri. .
Keterbacaan seharusnya telah diperhatikan oleh penulis ketika menyusun bahan belajar serta oleh editor ketika menyunting naskah itu sebelum diterbitkan. Guru pun seharusnya telah meneliti keterbacaan bahan belajar sebelum dipergunakan oleh siswa. Akan tetapi tidak jarang masalah keterbacaan tersebut kurang mendapat perhatian atau terabaikan. Kalaupun diperhatikan, mungkin pengukuran keterbacaan dilakukan kurang cermat atau tidak tepat. Sebelum melanjutkan lebih jauh, ada baiknya diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan keterbacaan dalam tulisan ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan keterbacaan bahan bacaan?
2.      Apa saja macam formula keterbacaan?
3.      Bagaimana menerapkan formula keterbacaan dalam mengajar?
4.      Bagaimana cara meningkatkan kemampuan keterbacaan siswa?

C.    Tujuan Penulisan
1.       Memahami maksud dari keterbacaan bahan bacaan
2.       Mengetahui bermacam-macam formula keterbacaan
3.       Mampu menerapkan formula keterbacaan dalam mengajar
4.       Meningkatkan kemampuan keterbacaan siswa dalam membaca bahan ajarnya













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Keterbacaan
Keterbacaan merupakan alih bahasa dari “Readability” yang merupakan turunan dari “Readable”,artinya dapat dibaca atau terbaca. Keterbacaan adalah hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Keterbacaan mempersoalkan tingkat kesulitan atau tigkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesulitan atau kemudahan wacananya. Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan, banyak dipergunakan orang berbagai formula keterbacaan. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat kelas tertentu.
Istilah readability ini diartikan Harjasujana, dkk. (1999:10) yaitu:
1.      Kemudahan tipografi atau tulisan tangan,
2.      Kemudahan membaca yang disebabkan oleh daya tarik bahan bacaan dan tingkat minat baca atau,
3.      Kemudahan memahami bahan bacaan yang disebabkan kecerdasan bahasanya.
Sakri dalam Harjasujana dkk. (1999:11) menjelaskan bahwa, Keterbacaan merupakan antara ketedasan dan kejelahan. Ketedasan berhubungan dengan keterbacaan bahasa, sedangkan kejelahan berhubungan dengan keterbacaan tata huruf. Baik ketedasan maupun kejelahan ditentukan oleh banyak faktor. Tata huruf dan daya tarik wacana hanya disingggung pada waktu diperlukan untuk melancarkan pembicaraan.
Keterbacaaan (redability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bahan bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya. Uraian di atas penulis simpulkan bahwa tingkat keterebacaan dapat diartikan sebagai tingkat kesulitan atau kemudahan wacana
B.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterbacaan
Dewasa ini sudah ada beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sabuah wacana. Penelitian terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni:
1.      Panjang pendeknya kalimat
Pada umumnya, semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata maka bahan bacaan tersebut semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan kata-katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacana yang mudah.
2.      Tingkat kesulitan kata
Semakin sulit bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut rendah. Sebaliknya, semakin mudah bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut tinggi.
Pertimbangan panjang-pendek kata dan tingkat kesulitan kata dalam pemakaian formula keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan struktur permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Sedangkan konsep yang terkandung dalam bacaan sebagai struktur dalam dari bacaan tersebut tampaknya tidak diperhatikan. Dengan kata lain, rumusan formula-formula keterbacaan sering digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan itu tidak memperhatikan unsur semantis.
Seperti halnya kriteria kesulitan kalimat, kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas wujud (struktur) yang tampak. Jika sebuah kalimat secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat tersebut tergolong sukar, sebaliknya, jika sebuah kalimat atau kata secara visual tampak pendek, maka kalimat tersebut tergolong mudah.
Bagaimana dengan kriteria kesulitan kata? Apakah panjang-pendeknya sebuah kata benar-benar dapat menjadi indikator bagi tingkat kesulitan kata yang bersangkutan? Bila dibandingkan, kata era dan kata zaman, maka kita akan menyetujui bahwa kata era lebih tinggi keterbacaannya, walaupun katanya lebih pendek dibandingkan dengan kata zaman, begitu pula sebaliknya.
C.    Formula Keterbacaan
Pentingnya keterbacaan dalam bahan belajar cetak disadari sungguh-sungguh khususnya oleh Departemen Pendidikan Nasional sejak diberlakukannya penilaian buku pelajaran untuk dipakai di pendidikan dasar dan menengah. Buku yang dinilai itu digolongkan ke buku teks pelengkap, buku bacaan, atau buku sumber. Jadi buku pelajaran pokok/teks utama belum termasuk di dalamnya. Di samping kebenaran isi, metodologi pembelajaran, grafika, dan keamanan , aspek bahasa dijadikan sebagai kriteria yang ikut menentukan dapat tidaknya buku itu dipakai sebagai sumber belajar. Dalam aspek bahasa ini terlihat adanya unsur keterbacaan yang dirumuskan dalam bentuk kosa kata, struktur kalimat, ejaan dan kaidah-kaidah bahasa lainnya.
Dalam penyusunan dan pengembangan naskah buku pelajaran pokok/teks utama yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional, keterbacaan naskah buku diuji melalui proses uju coba. Setelah mempelajari naskah bahan belajar itu, siswa diberikan kuesioner untuk mengetahui apakah siswa menemukan kesulitan dalam memahami bahan belajar itu dilihat dari kata-kata, kalimat, dan paragraf yang dipakai. Namun bahan bacaan itu tidak diujikan secara langsung kepada siswa sehingga data yang diperoleh bukan data objektif hasil pengukuran tetapi data subjektif berdasarkan pendapat siswa. Untuk melengkapi data dari siswa itu, diminta pendapat guru yang mengajarkan bidang studi di kelas yang bersangkutan. Data dari guru ini pun tergolong data subjektif sungguhpun dapat digolongkan sebagai penilaian dari ahli (expert judgement).
Hasil uji keterbacaan seperti yang dilakukan itu memberikan masukan kepada penulis dan editor dalam menyempurnakan naskah buku itu. Akan tetapi masukan itu dianggap masih memiliki kelemahan. Pertama, data yang diperoleh bukan data primer hasil pengukuran yang objektif. Kedua, keanekaragaman kemampuan membaca serta latar belakang budaya siswa, sampel yang dipergunakan dalam uji keterbacaan itu tidak dapat mewakili semua siswa di seluruh Indonesia. Akibatnya, setelah naskah buku diperbaiki dan diterbitkan serta disalurkan ke sekolah masih terdapat saja alasan kurang atau tidak dipakainya buku yang disediakan Pemerintah karena bahasanya berbelit-belit, kata-kata sukar, dan lain sebagainya. Alasan itu menunjukkan bahwa bacaan dalam buku itu tidak mudah dimengerti atau dengan perkataan lain tingkat keterbacaannya belum sesuai dengan kemampuan membaca siswa yang menggunakan buku itu.
Dalam penilaian buku terbitan swasta untuk dipakai sebagai buku pelajaran pokok/utama di SLTP, Pusat Perbukuan menetapkan kriteria bahasa terpisah dari kriteria keterbacaan secara khusus. Kriteria bahasa menilai penggunaan bahasa dalam penyampaian materi dengan indikator kaidah bahasa, kesesuaian dengan tingkat pendidikan, dan ketepatan istilah. Sedangkan kriteria keterbacaan menilai tingkat kemudahan keterbacaan naskah, yang terdiri atas, struktur kalimat, panjang kalimat, dan kelugasan. (Kadarsah Suryadi dkk, 2000). Sungguhpun indikator ini diberikan penjelasan, dalam penggunaannya belum begitu operasional sehingga unsur subjektivitas belum dapat sepenuhnya dihindarkan. Di lain pihak indikator yang dipergunakan untuk menilai aspek bahasa itu pada hakikatnya juga merupakan indikator untuk menilai keterbacaan,
 di samping melalui perkiraan yang bersifat subjektif (subjective judgement) dan uji coba kepada sasaran tertentu, keterbacaan dapat diukur dengan menggunakan sejumlah formula (rumus) keterbacaan seperti, The Dale-Chall Formula, The Fry Readibility Graph (Grafik Fry), Grafik Raygor, Reading Ease Formula, Flesch Reading Ease/Plesch-Kincaid Grade Level Tools, SMOG Test, Cloze Test dan Fog Index. Semua formula tersebut dipergunakan sebagai alat untuk mengukur dan mengetahui tingkat kesulitan memahami suatu bahan bacaan. Masing-masing formula memiliki keunggulan dan kelemahan. Berikut ini akan diberikan gambaran tentang Grafik Fry, Grafik Raygor, Flesch Reading Ease  ,SMOG Test, Cloze Test dan Fog Index.
1.      Formula Keterbacaan Grafik Fry
Dewasa ini beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sebuah wacana. Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:107) mengemukakan bahwa, Formula-formula keterbacaan yang terdahulu, memang bersifat kompleks dan menuntut pemakainya untuk memiliki kecermatan menghitung berbagai variable. Penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan yakni a) panjang pendeknya kalimat, 2) tingkat kesulitan kata. Pada umumnya semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata-kata, maka bahan bacaan dimaksud semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan katanay pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacana yang mudah. Dijelaskan pula Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:107) bahwa, Formula-formula keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolak ukur tadi. Panjang kalimat dan kesulitan kata merupakan dua faktor utama yang melandasi alat-alat pengukur keterbacaaan yang mereka ciptakan. Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua patokan tersebut, misalnya keterbacaan-keterbacaan yang dibuat Spache, Dale dan Chart, Gunning, Fry, Raygor, dan lain-lain. Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:135) mengemukakan bahwa, “dari sekian banyak formula keterbacaan yang diperkenlakan orang, grafik Fry dan grafik Raygor merupakan dua alat yang dipandang praktis dan mudah menggunakannya. Namun karena alat tersebut diciptakan untuk mengukur wacana bahasa inggris, maka pemakainnya untuk wacana bahasa Indonesia harus disesuikan”. Harjasujana dan Yeti Mulyati (1995:85) lebih jauh mengemukakan bahwa Banyak rumus yang dapat digunakan guru untuk menentukan tingkat keterbacaan suatu wacana. Penggunaan haus keterbacaan tersebut dapat dilakukan guru untuk memudahkan dalam mempersiapkan atau mengubah bahan bacaan dengan jalan meninggikan atau menurunkan tingkat keterbacaan antar lain gtrafik fry. Grafik fry merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan pengefisienan teknik penentuan tingkat keterbacaan.
Petunjuk penggunaan grafik fry
1.      Pilihlah seratus kata dari wacana yang akan diukur keterbacaannya. Jika dalam wacana tersebut terdapat nama, deret angka, dan singkatan, ketiganya dihitung satu kata. Kata ulang juga dianggap satu kata. Kata dalam judul bab atau subbab tidak boleh dihitung. Misalnya budi, ABRI, dan 1979 masing-masing dihitung satu kata.
2.      Hitunglah jumlah kalimat yang terdapat dalam keseratus kata terpilih tersebut. Jika kalimat akhir tidak tepat pada titik, perhitungannya adalah jumlah kalimat lengkap ditambah jumlah kata pada kalimat terakhir yang masuk pada jumlah kata keseratus dibagi jumlah keseluruhan kata kalimat terakhir. Misalnya dari keseratus kata yang telah dipilih ada 6 kalimat lengkap dan pada kalimat terakhir kata yang masuk keseratus kata ada 5 kata sedangkan jumlah kata pada kalimat itu seluruhnya ada 10 kata, jumlah kalimatnya adalah 6 + 5 = 6,5 kalimat
3.      Hitunglah jumlah suku kata dari keseratus kata yang telah dipilih. Kata yang berupa deretan angka dan singkatan dianggap masing-masing huruf / angkanya satu suku kata. Karena jumlah suku kata bahasa indonesia dan bahasa inggris bebeda, jumlah suku kata yang dihitung tersebut selanjutnya harus dikalikan 0.6. misalnya jumlah suku kata keseratus kata terpilih adalah 250 suku kata maka jumlah suku kata yang sebenarnya adalah 250 × 0,6 = 150 suku kata.
4.      Plotkan hasil penghitungan di atas ke dalam grafik fry. Pembacaan hasil akhir merupakan pertemuan antara garis diagonal dan vertikal yang dihasilkan dari jumlah suku kata dan jumlah kalimat. Jika hasilnya terletak pada satu kolom tertentu, itulah timgkat kesulitan wacana tersebut.
5.      Guna menghindari kesalahan, tentukanlah hasil akhir pengukuran dengan mencantumkan satu kelas di bawah dan satu kelas di atas. Misalnya pertemuan garis terletak pada kelas tiga, wacana tersebut dianggap cocok dibaca siswa kelas 2, 3, dan 4. Jika pertemuan garis tersebut jatuh pada daerah yang diarsir, wacana tersebut dikategorikan wacana yang tidak valid.
Selanjutnya dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku si pengukur harus menempuh langkah-langkah petunjuk penggunaan grafik fry yang kemudian menghitung hasil rata-ratanya. Data hasil rata-rata tersebut harus dijadikan dasar untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut. Dikemukakan Harjasujana, dkk (1988:4.13) bahwa, Formula keterbacaan grafik fry cocok sekali digunakan pada wacana bahasa Inggris. Namun kadang guru perlu mengevaluasi bacaan yang terdiri atas kata-kata yang jumlahnya kurang dari seratus buah, seperti pertanyaan-pertanyaan dalam tes, petunjuk untuk melakukan kegiatan tertentu, pengumuman-pengumuman singkat, atau petunjuk-petunjuk penggunaan obat-obatan tertentu. Untuk menentukan wacana-wacana yang demikian yang jumlah katanya kurang dari seratus perkiraan kita dapat menggunakan prosedur penggunaan grafik fry, dengan mengacu pada daftar konversi grafik fry.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menganalisis wacana yang kata-katanya kurang dari seratus yaitu sebagai berikut. Prosedur kerja untuk menempuh langkah-langkah grafik fry yang wacananya kurang dari 100 kata: Langkah (1) Hitunglah jumlah kata dalam wacana yang akan diukur tingkat
keterbacaannya itu dan bulatkan pada bilangan puluhan yang terdekat. Jika
wacana tersebut terdiri atas 54 buah kata, misalnya, maka jumlah tersebut
diperhitungkan sebagai 50, jika jumlah wacana itu ada 26 buah, maka
bilangan kebulatannya adalah 30. Langkah (2) Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana tersebut Kegiatan ini dilakukan dengan cara sama seperti langkah 2 dan 3 pada petunjuk penggunaan grafik fry. Langkah (3) Selanjutnya, perbanyak jumlah kalimat dan suku kata (hasil penghitungan 2
tersebut) dengan angka-angka yang ada dalam daftar konversi. Dengan demikian guru dapat menggunakan lagi grafik fry. Dengan kata lain data
yang diplotkan ke dalam grafik adalah daftar yang telah diperbanyak dengan
daftar konversi.
Catatan penting tentang grafik Fry
1.      Untuk mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, maka hendaknya dilakukan pengukuran sebanyak 3 kali percobaan dengan pemilihan sampel dari wacana bagian awal buku, bagian tengah buku, dan bagian akhir buku. Kemudian hitung hasil rata-ratanya.
2.      Grafik Fry merupakan penelitian untuk wacana bahasa inggris. Padahal struktur bahasa inggris berbeda jauh dengan bahasa Indonesia, terutama dalam hal suku katanya. Berdasarkan kenyataan tersebut, tidak akan pernah didapati wacana dalam bahasa Indonesia cocok untuk peringkat kelas di dalam grafik Fry. Sebab titik temunya pasti berada pada daerah yang diarsir. Seperti contoh, telah diketahui rata-rata jumlah kalimat 12,5 dan suku katanya 228 setelah diplotkan titik temunya berada di daerah arsiran. Oleh karena itu ditambah 1 langkah lagi yaitu dengan mengkalikan jumlah suku kata dengan angka 0.6. jadi pada contoh diatas tadi didapati rata-rata humlah kalimat 12,5 dan jumlah suku kata 228*0,6=136,8 dibulatkan menjadi 137. Setelah diplotkan hasilnya jatuh di wilayah 4. Dengan emikian wacana tersebut cocok untuk peringkat 3, 4, 5.
Daftar konversi untuk grafik Fry
            Untuk menentukan tingkat keterbacaan pada wacana yang jumlah katanya kurang dari seratus perkataan, para ahli telah menemukan jalan pemecahan yang cukup sedarhana.
Langkah 1
            Hitunglah jumlah kata dalam wacana dan bulatkan pada bilangan puluhan terdekat
Langkah 2
            Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana.
Langkah 3
            Perbanyak jumlah kalimat dan suku kata dengan angka-angka yang ada dalam daftar konversi.

                                                30        =         3,3
                                                40        =         2,5
                                                50        =         2,0
                                                60        =         1,67
                                                70        =          1,43
                                                80        =         1,25
                                                90        =         1,1

Sebagai contoh: ada sebuah wacana didapati jumlah katanya ada 34 buah,dibulatkan menjadi 30 buah. Jumlah kalimatnya ada 2 kalimat. Jumlah suku katanya ada 60 suku kata. Angka konversi untuk perbanyakan jumlah kalimat dan suku kata untuk jumlah 30 adalah 3,3. Dengan demikian
- jumlah kalimat : 2*3,3= 6,6
- Jumlah suku kata :60*3,3= 198
Setelah diplotkan jatuh pada wilayah universitas.
2.      Formula Keterbacaan Grafik Raygor
Formula keterbacaan Raygor diperkenalkan oleh Alton Raygor, yang selanjutnya grafik ini disebut grafik Raygor. Formula ini tampaknya mendekati kecocokan untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf latin. Grafik Raygor tampak terbalik jika dibandingkan dengan Grafik Fry. Namun, kedua formula keterbacaan tersebut sesungguhnya mempunyai prinsip-prinsip yang mirip.
Petunjuk penggunaan Grafik Raygor.
a.       Mengitung 100 buah perkataan dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya sebagai sampel. Deretan angka tidak dipertimbangkan sebagai kata. Oleh karenanya, angka-angka tidak dihitung ke dalam perhitungan 100 buah kata.
b.      Menghitung jumlah kalimat sampai pada persepuluhan terdekat. Prosedur ini sama dengan prosedur Fry dalam menghitung rata-rata jumlah kalimat.
c.       Menghitung jumlah kata-kata sulit, yakni kata-kata yang dibentuk oleh 6 huruf atau lebih. Kriteria tingkat kesulitan sebuah kata di sini didasari oleh panjang-pendeknya kata, bukan oleh unsur semantisnya. Kata-kata yang tergolong ke dalam kategori sulit itu adalah kata-kata yang terdiri atas enam atau lebih huruf. Kata-kata yang jumlah hurufnya kurang dari enam, tidak digolongkan ke dalam kata sulit.
d.      Hasil yang diperoleh dari langkah dua dan tiga itu dapat diplotkan ke dalam grafik Raygor untuk menentukan peringkat keterbacaan wacananya.
Kelebihan dari penggunaan grafik Raygor, yakni dalam hal efisiensi waktu, pengukuran keterbacaan wacana dengan grafik Raygor ternyata jauh lebih cepat daripada melakukan pengukuran keterbacaan dengan menggunakan grafik Fry.~Sela Carina Tamara dan Rahayu Saktiningsih
3.      Flesch Reading Ease/Plesch-Kincaid Grade Level Tools
Pengukuran keterbacaan dengan menggunakan alat ini dapat dilakukan dengan menggunakan Microsoft Word (MS) dalam komputer. Naskah wacana dimasukkan dalam MS. Sesudah naskah dibuka, pilih dan klik tombol Tool pada menu layar Microsoft Word. Sesudah menu Tool dibuka, pilih dan klik tombol Grammar. Printah ini akan menyuruh MS membaca dan memeriksa ejaan dan tata bahasa dalam naskah wacana itu. Apabila ditemukan kesalahan atau hal-hal yang kurang lazim, MS akan menawarkan beberapa alternatif pilihan. Sesudah MS melakukan pemeriksaan ejaan dan tata kalimat, pada layar komputer akan diperlihatkan statistik dalam tiga kategori: Counts, Averages, dan Readability. Cari pada Readability untuk data keterbacaan dengan istilah Flesch Reading Ease (kemudahan membaca) dan Flesch-Kincaid Grade Level (tingkat pembaca). Angka Flesch Reading Ease seharusnya 60 atau lebih agar sesuai untuk pembaca tingkat 8 (kelas 2 SLTP). Atau untuk kesesuaian tingkat pembaca ini dapat juga dilihat pada Flesch-Kincaid Grade Level. Masalah dalam penggunaan cara ini ialah bahwa MS belum membuat program untuk semua bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Dengan demikian cara ini dapat dipakai untuk wacana dengan bahasa yang sudah ada dalam kamus MS.
4.      SMOG Test
Test SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) adalah cara lain yang cepat, mudah, dan konsisten dalam menentukan tingkat keterbacaan. Akan tetapi cara ini dianggap kurang sesuai untuk pembaca di bawah kelas enam.
Cara menggunakan test ini ialah sebagai berikut:
a.       Pilih tiga sample dari 10 kalimat yang berurutan dari bagian-bagian yang berbeda dalam keseluruhan bahan wacana, sehingga jumlah secara keseluruhan paling sedikit 100 kata.
b.      Hitung jumlah kata yang terdiri atas tiga suku kata atau lebih dalam 30 kalimat.
c.       Hitung hasil akar dari jumlah kata itu (b).
d.      Tambahkan 3 dan hasilnya adalah tingkat pembaca yang sesuai.
Contoh:
a)      Jumlah kata yang terdiri atas 3 suku kata atau lebih adalah 64.
b)      Hasil akar dari 64 adalah 8
c)      8 + 3 = 11. Jadi tingkat pembaca yang sesuai adalah kelas 2 SLTA.
5.      Cloze Test
Cloze test, yang diperkenalkan oleh Wilson L. Taylor pada tahun 1953, adalah sejenis test dalam bentuk wacana dengan sejumlah kata yang dikosongkan (rumpang) dan pengisi test diminta mengisi kata-kata yang sesuai di tempat yang dikosongkan itu. (Hornby, 2000). Kata “cloze” itu bermakna proses penutupan sementara (Oller, 1979). Disebut dengan penutupan sementara karena sejumlah kata dalam wacana itu dihilangkan atau ditutup secara sistematis untuk diisi dengan cara menerka berdasarkan konteks isi wacana itu. Kebenaran isi jawaban akan dilihat dari nakah asli wacana tersebut. Ada tiga cara menghilangkan kata tersebut:
a.       Menghilangkan kata pada urutan tertentu secara konsisten, tanpa membedakan jenis kata. Cara ini disebut the fixed-ratio method. Misalnya, apabila dipilih kata yang dihilangkan itu adalah kata yang ke-5, maka setiap kata yang kelima (apakah kata asing, nama diri, akronim, atau singkatan) dihilangkan secara konsisten. Cara ini biasanya dipakai apabila kata-kata dalam wacana itu dianggap sudah biasa bagi pengisi test.
b.      Menghilangkan kata pada urutan tertentu dengan ketentuan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pembuat test. Misalnya, kata itu akan dihilangkan apabila termasuk kata benda atau kata kerja, atau jenis kata lain yang ditentukan oleh pembuat test. Cara ini disebut the variables-fixed ratio. Cara ini biasanya dipakai apabila pembuat test ingin mengetahui tingkat kesulitan kata-kata yang tergolong ke dalam jenis-jenis kata yang ditetapkannya.
c.       Menghilangkan kata pada urutan tertentu secara sistematis tetapi apa bila kata pada urutan tertentu itu adalah nama tempat, nama diri, angka, tanggal, bulan, tahun atau istilah, maka kata itu dilampaui dan dipilih kata berikutnya. Hal ini dilakukan karena kata-kata itu sulit diterka atas dasar konteks kalimat. Cara ini disebut the modified fixed-ratio method. Cara ini banyak dipakai untuk wacana yang mengandung banyak istilah atau nama diri.
Cloze test yang kemudian juga dipakai untuk menguji pemahaman membaca (reading comprehension), pada awalnya dibuat untuk menguji keterbacaan . (Heaton, 1975). Melalui test ini dapat diketahui kesulitan calon pengguna dalam mengisi kata-kata yang dikosongkan (rumpang) secara teratur dalam suatu uraian. Semakin dekat jarak kata yang dikosongkan, mungkin semakin sulit mengerjakan soal itu dan sebaliknya. Kata yang dibuang (dikosongkan) itu biasanya setiap kata yang kelima atau yang ketujuh. Karena kata yang dipilih mungkin saja kata yang maknanya sama (sinonim) dengan kata aslinya, maka sinonim kata itu dapat juga dianggap benar. Akan tetapi apabila diharapkan kata yang diisikan adalah kata yang persis sama dengan kata aslinya (kata yang dibuang) maka huruf awal kata itu dituliskan dan huruf-huruf berikutnya dikosongkan. Semakin sedikit kesalahan yang dibuat oleh pengisi test, berarti semakin tinggi tingkat keterbacaan naskah tersebut dan sebaliknya, semakin banyak kesalahan yang dibuat berarti semakin rendah tingkat keterbacaannya.
Prosedur yang ditempuh dalam menggunakan test ini ialah sebagai berikut:
1.      Pilihlah tiga buah uraian dalam naskah atau buku tersebut secara acak, masing-masing pada bagian awal, tengah dan akhir. Uraian yang dipilih hendaknya berdiri sendiri dan utuh dalam arti mempunyai satu konsep atau ide. Panjang uraian kurang lebih 250 kata.
2.      Uraian yang dipilih hendaknya menarik bagi calon pengguna.
3.      Hindari uraian yang banyak menggunakan nama diri, seperti nama orang dan nama tempat.
4.      Salin kembali masing-masing uraian tersebut dengan ketentuan:

a.       Berikan judul untuk masing-masing uraian untuk memberikan gambaran umum tentang isi uraian,
b.      Tulis kembali kalimat pertama masing-masing uraian secara utuh untuk memberikan gambaran isi uraian lebih spesifik.
c.       Untuk kalimat-kalimat berikutnya, buang setiap kata ke lima atau kata ketujuh secara teratur. Kata berulang dihitung dua kata. Kalau pembaca diharapkan mengisi kata yang dikosongkan itu tepat seperti kata aslinya, tuliskan huruf awal kata itu dan diikuti dengan strip sebanyak sisa huruf kata tersebut ( misalnya, kata yang dibuang ialah warung, maka ditulis w_ _ _ _ _)
d.      Tuliskan kalimat terakhir masing-masing uraian secara utuh untuk memberikan gambaran tentang isi uraian secara lebih lengkap.
5.      Pilih secara acak sesedikitnya sepuluh calon pengguna naskah tersebut untuk mengerjakan test itu.
6.      Berikan petunjuk yang jelas, termasuk tujuan diberikannya test bahwa yang ingin diketahui bukanlah kemampuan membaca mereka tetapi tingkat keterbacaan naskah itu sendiri. Kata yang dikosongkan diisi hanya dengan satu kata yang dianggap paling sesuai dengan maksud kalimat dan uraian,
Tingkat kesulitan keseluruhan naskah dapat dilihat dari jumlah kata yang benar diisikan pada test itu. Hasil dengan menggunakan Cloze Test ini dapat dikategorikan sebagai berikut.
Jumlah kata yang benar Tingkat kesulitan
a.       > 50 % “Mudah” dalam arti pembaca mengerti isi bacaan.
b.       >35% – 50% “Agak Sukar” dalam arti pembaca memerlukan bantuan untuk mengerti isi bacaan
c.        <35 % – 35 % “Sangat Sukar”, dalam arti pembaca tidak dapat memahami isi bacaan.
Hasil test tersebut dapat dilihat secara individual dan kelompok. Dapat terjadi hasil masing-masing individu secara signifikan berbeda karena latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Dengan demikian, mungkin saja suatu bahan bacaan sangat sulit bagi orang tertentu tetapi sangat mudah bagi orang lain dalam kelompok yang sama. Akan tetapi dalam kaitannya dengan bahan bacaan yang dipergunakan dalam kelas maka hasil rata-rata dalam kelompok biasanya yang digunakan.
6.      Fog Index
Kalau Cloze Test dipergunakan dengan mengujikan bahan bacaan itu kepada calon penggunanya, Fog Index dipergunakan oleh penulis, editor atau guru sendiri, tanpa ketergantungan kepada orang lain. Fog Index dipergunakan dengan mengidentifikasi kata-kata sulit dalam suatu uraian. Dalam bahasa Inggris kata-kata sulit itu dianggap antara lain ialah kata yang dalam mengucapkannya terdiri atas lebih dari satu suku kata.
Prosedur yang ditempuh dalam menggunakan Fog Index adalah sebagai berikut,
1.      Pilihlah tiga jenis uraian dalam naskah atau buku itu secara acak yang terdiri atas masing-masing pada bagian awal, tengah, dan akhir.
2.      Untuk masing-masing uraian, hitunglah 100 kata mulai dari awal uraian. Berikan tanda pada kata yang keseratus itu dengan ketentuan:
a.       Kata berulang dihitung dua kata.
b.      Kata yang digunakan lebih dari satu kali dihitung satu kata.
c.       Kata singkatan dan angka (lebih dari satu angka seperti 5000) dihitung satu kata.
3.      Hitunglah rata-rata panjang kalimat yang lengkap dalam uraian itu dengan cara:
a.       Carilah tanda titik terakhir (sebagai tanda akhir kalimat) sebelum kata yang keseratus tersebut. Hitung dari awal uraian berapa kalimat yang sempurna sampai titik terakhir sebelum kata yang keseratus itu.
b.      Hitung jumlah kata dari titik terakhir sampai dengan kata yang keseratus itu. Kemudian jumlah kata itu dipergunakan sebagai angka pengurang dari 100 kata, maka akan diperoleh jumlah kata dalam kalimat lengkap yang terdapat sampai pada kata yang keseratus itu.
c.       Bagilah hasil pengurangan itu dengan jumlah kalimat lengkap (sampai kata yang keseratus) maka diperoleh jumlah rata-rata kata dalam kalimat lengkap.
4.      Carilah kata-kata yang berjumlah dua suku kata atau lebih sampai kata yang keseratus dan hitung berapa jumlahnya Kata-kata yang demikian dianggap kata-kata sukar.
5.      Kemudian dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
2(RPK + KS)
—————– + 5
5
RPK = Rata-rata Panjang Kalimat
KS = Kata-kata sukar
6.      Hasil perhitungan dapat dikategorikan sebagai berikut
Hasil Kategori
a.       12 – 20 Sukar













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Keterbacaaan (redability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bahan bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya. Terdapat berbagai macam formula keterbacaan, antara lain yaitu: grafik fry, grafik raygor, flesch reading ease, SMOG test, cloze test, dan fog index.
B.     Saran
1.      Dalam melaksanakan pembelajaran membaca hendaknya guru mengetahui benar teori-teori membaca dan keterbacaan
2.      Sebaiknya guru mampu dan menguasai dalam menerapkan formula-formula keterbacaan










DAFTAR PUSTAKA

·         Abidin, Yunus. (2010). Strategi Membaca Teori dan Pembelajaran. Bandung: RIZQI Press




0 komentar:

Posting Komentar