BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu
hal yang perlu diperhatikan dalam penyampaian informasi atau pesan (message)
melalui media tulis atau cetak ialah sejauh mana pesan itu dapat ditangkap,
dimengerti, dan dipahami oleh pembaca. Hal itu perlu karena pesan yang penting
dan bermanfaat akan menjadi sia-sia kalau si penerima pesan atau pembaca tidak
dapat menangkap pesan itu dengan baik. Kemampuan membaca dan kemampuan memahami
makna bacaan dianggap merupakan persyaratan awal yang perlu dimiliki seseorang
untuk dapat menangkap dan memahami pesan yang disampaikan melalui media
tulis/cetak. Akan tetapi persoalannya tidak sesederhana itu. Apabila dilihat
kegiatan menulis dan membaca sebagai suatu proses komunikasi, maka tujuan
komunikasi sebenarnya tidak hanya sebatas pesan itu sampai dan dipahami oleh
pembaca tetapi diharapkan dapat memberikan pengaruh sehingga terjadi perubahan
perilaku pembaca (dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak sadar menjadi sadar,
atau dari tidak mampu menjadi mampu berbuat). Lebih jauh, Rudolf Flesch (1962)
berpendapat bahwa keberhasilan penyampaian pesan ditandai dengan pembaca
membacanya lebih cepat, lebih menikmatinya, lebih mengerti, dan mengingatnya
lebih lama. Pendapat tersebut selaras dengan prinsip belajar dengan menggunakan
bantuan media.
Dalam proses
pembelajaran yang menggunakan bahan belajar cetak sebagai sumber belajar utama,
di samping pembelajar, keterbacaan (readability) menjadi permasalahan
tersendiri. Berdasarkan berbagai penelitian diketahui bahwa pebelajar mendapat
dan memahami bahan belajar lebih banyak dari buku dari pada sumber belajar
lainnya. Kesimpulan ini cukup beralasan mengingat informasi dalam buku dapat
dibaca berulang kali, direnungkan, dibedah, dan didiskusikan. Oleh karena itu,
untuk meningkatkan fungsi buku sebagai sumber informasi, pesan yang disampaikan
melalui buku perlu dirancang, disusun dan disajikan dalam bentuk yang tidak
saja menarik secara visual tetapi juga mudah dimengerti. Apalagi dalam
penyusunan bahan belajar mandiri, seperti modul, keterbacaan bahan belajar
menjadi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran oleh
karena pebelajar diharapkan dapat memahami bahan belajar tanpa bantuan atau
sesedikit mungkin menggunakan bantuan orang lain.
Minat dan
kegemaran membaca diperlukan dalam membangun masyarakat belajar. Salah satu
hambatan dalam menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca ialah keterbacaan
bahan bacaan. Kesulitan memahami bahan bacaan memperlemah dan kadang-kadang
mematikan motivasi membaca. Bahan bacaan yang tersedia sulit dipahami dilihat
dari bahasa yang dipergunakan dan konsep (isi) yang disampaikan terlalu sukar
untuk dipahami sehingga tidak menarik untuk dipelajari. Dengan perkataan lain
bahan bacaan tersebut mengandung keterbacaan yang rendah. Akan tetapi tidak
jarang terjadi dalam hal yang demikian, kemampuan membaca pebelajarlah
dijadikan alasan rendahnya pemahaman. Atau ada kalanya kurangnya pemahaman itu
dianggap karena pebelajar kurang atau tidak konsentrasi ketika membaca. Padahal
apabila dikaji lebih lanjut, kelemahan itu terdapat pada keterbacaan dalam buku
itu sendiri. .
Keterbacaan
seharusnya telah diperhatikan oleh penulis ketika menyusun bahan belajar serta
oleh editor ketika menyunting naskah itu sebelum diterbitkan. Guru pun
seharusnya telah meneliti keterbacaan bahan belajar sebelum dipergunakan oleh
siswa. Akan tetapi tidak jarang masalah keterbacaan tersebut kurang mendapat
perhatian atau terabaikan. Kalaupun diperhatikan, mungkin pengukuran
keterbacaan dilakukan kurang cermat atau tidak tepat. Sebelum melanjutkan lebih
jauh, ada baiknya diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
keterbacaan dalam tulisan ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan keterbacaan bahan bacaan?
2. Apa saja
macam formula keterbacaan?
3. Bagaimana menerapkan
formula keterbacaan dalam mengajar?
4. Bagaimana
cara meningkatkan kemampuan keterbacaan siswa?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami
maksud dari keterbacaan bahan bacaan
2. Mengetahui
bermacam-macam formula keterbacaan
3. Mampu
menerapkan formula keterbacaan dalam mengajar
4. Meningkatkan
kemampuan keterbacaan siswa dalam membaca bahan ajarnya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Keterbacaan
Keterbacaan
merupakan alih bahasa dari “Readability” yang merupakan turunan dari
“Readable”,artinya dapat dibaca atau terbaca. Keterbacaan adalah hal atau ihwal
terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Keterbacaan
mempersoalkan tingkat kesulitan atau tigkat kemudahan suatu bahan bacaan
tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan merupakan ukuran tentang
sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat
kesulitan atau kemudahan wacananya. Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan
bahan bacaan, banyak dipergunakan orang berbagai formula keterbacaan. Tingkat
keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Setelah melakukan
pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang akan dapat mengetahui kecocokan
materi bacaan tersebut untuk peringkat kelas tertentu.
Istilah
readability ini diartikan Harjasujana, dkk. (1999:10) yaitu:
1. Kemudahan
tipografi atau tulisan tangan,
2. Kemudahan
membaca yang disebabkan oleh daya tarik bahan bacaan dan tingkat minat baca
atau,
3. Kemudahan
memahami bahan bacaan yang disebabkan kecerdasan bahasanya.
Sakri
dalam Harjasujana dkk. (1999:11) menjelaskan bahwa, Keterbacaan merupakan
antara ketedasan dan kejelahan. Ketedasan berhubungan dengan keterbacaan
bahasa, sedangkan kejelahan berhubungan dengan keterbacaan tata huruf. Baik
ketedasan maupun kejelahan ditentukan oleh banyak faktor. Tata huruf dan daya
tarik wacana hanya disingggung pada waktu diperlukan untuk melancarkan
pembicaraan.
Keterbacaaan
(redability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bahan bacaan bagi
pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya. Uraian
di atas penulis simpulkan bahwa tingkat keterebacaan dapat diartikan sebagai
tingkat kesulitan atau kemudahan wacana
B.
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Keterbacaan
Dewasa
ini sudah ada beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk memperkirakan
tingkat kesulitan sabuah wacana. Penelitian terakhir membuktikan bahwa ada dua
faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni:
1. Panjang
pendeknya kalimat
Pada
umumnya, semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata maka bahan bacaan tersebut
semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan kata-katanya pendek-pendek, maka
wacana dimaksud tergolong wacana yang mudah.
2. Tingkat
kesulitan kata
Semakin sulit bacaan tersebut
dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut rendah. Sebaliknya,
semakin mudah bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana
tersebut tinggi.
Pertimbangan
panjang-pendek kata dan tingkat kesulitan kata dalam pemakaian formula
keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan struktur
permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Sedangkan konsep
yang terkandung dalam bacaan sebagai struktur dalam dari bacaan tersebut
tampaknya tidak diperhatikan. Dengan kata lain, rumusan formula-formula
keterbacaan sering digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan itu tidak
memperhatikan unsur semantis.
Seperti
halnya kriteria kesulitan kalimat, kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas
wujud (struktur) yang tampak. Jika sebuah kalimat secara visual tampak lebih
panjang, artinya kalimat tersebut tergolong sukar, sebaliknya, jika sebuah
kalimat atau kata secara visual tampak pendek, maka kalimat tersebut tergolong
mudah.
Bagaimana
dengan kriteria kesulitan kata? Apakah panjang-pendeknya sebuah kata
benar-benar dapat menjadi indikator bagi tingkat kesulitan kata yang
bersangkutan? Bila dibandingkan, kata era dan kata zaman, maka
kita akan menyetujui bahwa kata era lebih tinggi keterbacaannya, walaupun
katanya lebih pendek dibandingkan dengan kata zaman, begitu pula sebaliknya.
C.
Formula
Keterbacaan
Pentingnya
keterbacaan dalam bahan belajar cetak disadari sungguh-sungguh khususnya oleh
Departemen Pendidikan Nasional sejak diberlakukannya penilaian buku pelajaran
untuk dipakai di pendidikan dasar dan menengah. Buku yang dinilai itu
digolongkan ke buku teks pelengkap, buku bacaan, atau buku sumber. Jadi buku
pelajaran pokok/teks utama belum termasuk di dalamnya. Di samping kebenaran
isi, metodologi pembelajaran, grafika, dan keamanan , aspek bahasa dijadikan
sebagai kriteria yang ikut menentukan dapat tidaknya buku itu dipakai sebagai
sumber belajar. Dalam aspek bahasa ini terlihat adanya unsur keterbacaan yang
dirumuskan dalam bentuk kosa kata, struktur kalimat, ejaan dan kaidah-kaidah
bahasa lainnya.
Dalam
penyusunan dan pengembangan naskah buku pelajaran pokok/teks utama yang
dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional, keterbacaan naskah buku diuji
melalui proses uju coba. Setelah mempelajari naskah bahan belajar itu, siswa
diberikan kuesioner untuk mengetahui apakah siswa menemukan kesulitan dalam
memahami bahan belajar itu dilihat dari kata-kata, kalimat, dan paragraf yang
dipakai. Namun bahan bacaan itu tidak diujikan secara langsung kepada siswa
sehingga data yang diperoleh bukan data objektif hasil pengukuran tetapi data
subjektif berdasarkan pendapat siswa. Untuk melengkapi data dari siswa itu,
diminta pendapat guru yang mengajarkan bidang studi di kelas yang bersangkutan.
Data dari guru ini pun tergolong data subjektif sungguhpun dapat digolongkan
sebagai penilaian dari ahli (expert judgement).
Hasil uji
keterbacaan seperti yang dilakukan itu memberikan masukan kepada penulis dan
editor dalam menyempurnakan naskah buku itu. Akan tetapi masukan itu dianggap
masih memiliki kelemahan. Pertama, data yang diperoleh bukan data primer hasil
pengukuran yang objektif. Kedua, keanekaragaman kemampuan membaca serta latar
belakang budaya siswa, sampel yang dipergunakan dalam uji keterbacaan itu tidak
dapat mewakili semua siswa di seluruh Indonesia. Akibatnya, setelah naskah buku
diperbaiki dan diterbitkan serta disalurkan ke sekolah masih terdapat saja
alasan kurang atau tidak dipakainya buku yang disediakan Pemerintah karena
bahasanya berbelit-belit, kata-kata sukar, dan lain sebagainya. Alasan itu
menunjukkan bahwa bacaan dalam buku itu tidak mudah dimengerti atau dengan
perkataan lain tingkat keterbacaannya belum sesuai dengan kemampuan membaca
siswa yang menggunakan buku itu.
Dalam
penilaian buku terbitan swasta untuk dipakai sebagai buku pelajaran pokok/utama
di SLTP, Pusat Perbukuan menetapkan kriteria bahasa terpisah dari kriteria
keterbacaan secara khusus. Kriteria bahasa menilai penggunaan bahasa dalam
penyampaian materi dengan indikator kaidah bahasa, kesesuaian dengan tingkat
pendidikan, dan ketepatan istilah. Sedangkan kriteria keterbacaan menilai
tingkat kemudahan keterbacaan naskah, yang terdiri atas, struktur kalimat,
panjang kalimat, dan kelugasan. (Kadarsah Suryadi dkk, 2000). Sungguhpun
indikator ini diberikan penjelasan, dalam penggunaannya belum begitu
operasional sehingga unsur subjektivitas belum dapat sepenuhnya dihindarkan. Di
lain pihak indikator yang dipergunakan untuk menilai aspek bahasa itu pada
hakikatnya juga merupakan indikator untuk menilai keterbacaan,
di samping melalui perkiraan yang bersifat subjektif (subjective judgement) dan uji coba kepada sasaran tertentu, keterbacaan dapat diukur dengan menggunakan sejumlah formula (rumus) keterbacaan seperti, The Dale-Chall Formula, The Fry Readibility Graph (Grafik Fry), Grafik Raygor, Reading Ease Formula, Flesch Reading Ease/Plesch-Kincaid Grade Level Tools, SMOG Test, Cloze Test dan Fog Index. Semua formula tersebut dipergunakan sebagai alat untuk mengukur dan mengetahui tingkat kesulitan memahami suatu bahan bacaan. Masing-masing formula memiliki keunggulan dan kelemahan. Berikut ini akan diberikan gambaran tentang Grafik Fry, Grafik Raygor, Flesch Reading Ease ,SMOG Test, Cloze Test dan Fog Index.
di samping melalui perkiraan yang bersifat subjektif (subjective judgement) dan uji coba kepada sasaran tertentu, keterbacaan dapat diukur dengan menggunakan sejumlah formula (rumus) keterbacaan seperti, The Dale-Chall Formula, The Fry Readibility Graph (Grafik Fry), Grafik Raygor, Reading Ease Formula, Flesch Reading Ease/Plesch-Kincaid Grade Level Tools, SMOG Test, Cloze Test dan Fog Index. Semua formula tersebut dipergunakan sebagai alat untuk mengukur dan mengetahui tingkat kesulitan memahami suatu bahan bacaan. Masing-masing formula memiliki keunggulan dan kelemahan. Berikut ini akan diberikan gambaran tentang Grafik Fry, Grafik Raygor, Flesch Reading Ease ,SMOG Test, Cloze Test dan Fog Index.
1.
Formula Keterbacaan
Grafik Fry
Dewasa
ini beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk memperkirakan
tingkat kesulitan sebuah wacana. Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:107)
mengemukakan bahwa, Formula-formula keterbacaan yang terdahulu, memang bersifat
kompleks dan menuntut pemakainya untuk memiliki kecermatan menghitung berbagai
variable. Penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang
berpengaruh terhadap keterbacaan yakni a) panjang pendeknya kalimat, 2) tingkat
kesulitan kata. Pada umumnya semakin panjang kalimat dan semakin panjang
kata-kata, maka bahan bacaan dimaksud semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat
dan katanay pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacana yang mudah. Dijelaskan
pula Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:107) bahwa, Formula-formula keterbacaan
yang dewasa ini sering digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana, tampaknya
berkecenderungan kepada dua tolak ukur tadi. Panjang kalimat dan kesulitan kata
merupakan dua faktor utama yang melandasi alat-alat pengukur keterbacaaan yang
mereka ciptakan. Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua patokan
tersebut, misalnya keterbacaan-keterbacaan yang dibuat Spache, Dale dan Chart, Gunning,
Fry, Raygor, dan lain-lain. Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:135)
mengemukakan bahwa, “dari sekian banyak formula keterbacaan yang diperkenlakan
orang, grafik Fry dan grafik Raygor merupakan dua alat yang dipandang praktis
dan mudah menggunakannya. Namun karena alat tersebut diciptakan untuk mengukur
wacana bahasa inggris, maka pemakainnya untuk wacana bahasa Indonesia harus
disesuikan”. Harjasujana dan Yeti Mulyati (1995:85) lebih jauh mengemukakan bahwa
Banyak rumus yang dapat digunakan guru untuk menentukan tingkat keterbacaan
suatu wacana. Penggunaan haus keterbacaan tersebut dapat dilakukan guru untuk
memudahkan dalam mempersiapkan atau mengubah bahan bacaan dengan jalan
meninggikan atau menurunkan tingkat keterbacaan antar lain gtrafik fry. Grafik
fry merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan pengefisienan teknik penentuan
tingkat keterbacaan.
Petunjuk
penggunaan grafik fry
1. Pilihlah
seratus kata dari wacana yang akan diukur keterbacaannya. Jika dalam wacana
tersebut terdapat nama, deret angka, dan singkatan, ketiganya dihitung satu
kata. Kata ulang juga dianggap satu kata. Kata dalam judul bab atau subbab
tidak boleh dihitung. Misalnya budi, ABRI, dan 1979 masing-masing dihitung satu
kata.
2. Hitunglah
jumlah kalimat yang terdapat dalam keseratus kata terpilih tersebut. Jika
kalimat akhir tidak tepat pada titik, perhitungannya adalah jumlah kalimat
lengkap ditambah jumlah kata pada kalimat terakhir yang masuk pada jumlah kata keseratus
dibagi jumlah keseluruhan kata kalimat terakhir. Misalnya dari keseratus kata
yang telah dipilih ada 6 kalimat lengkap dan pada kalimat terakhir kata yang
masuk keseratus kata ada 5 kata sedangkan jumlah kata pada kalimat itu
seluruhnya ada 10 kata, jumlah kalimatnya adalah 6 + 5 = 6,5 kalimat
3. Hitunglah
jumlah suku kata dari keseratus kata yang telah dipilih. Kata yang berupa
deretan angka dan singkatan dianggap masing-masing huruf / angkanya satu suku
kata. Karena jumlah suku kata bahasa indonesia dan bahasa inggris bebeda,
jumlah suku kata yang dihitung tersebut selanjutnya harus dikalikan 0.6.
misalnya jumlah suku kata keseratus kata terpilih adalah 250 suku kata maka
jumlah suku kata yang sebenarnya adalah 250 × 0,6 = 150 suku kata.
4. Plotkan
hasil penghitungan di atas ke dalam grafik fry. Pembacaan hasil akhir merupakan
pertemuan antara garis diagonal dan vertikal yang dihasilkan dari jumlah suku
kata dan jumlah kalimat. Jika hasilnya terletak pada satu kolom tertentu,
itulah timgkat kesulitan wacana tersebut.
5. Guna
menghindari kesalahan, tentukanlah hasil akhir pengukuran dengan mencantumkan
satu kelas di bawah dan satu kelas di atas. Misalnya pertemuan garis terletak
pada kelas tiga, wacana tersebut dianggap cocok dibaca siswa kelas 2, 3, dan 4.
Jika pertemuan garis tersebut jatuh pada daerah yang diarsir, wacana tersebut
dikategorikan wacana yang tidak valid.
Selanjutnya
dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku si pengukur harus menempuh
langkah-langkah petunjuk penggunaan grafik fry yang kemudian menghitung hasil
rata-ratanya. Data hasil rata-rata tersebut harus dijadikan dasar untuk
menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut. Dikemukakan Harjasujana,
dkk (1988:4.13) bahwa, Formula keterbacaan grafik fry cocok sekali digunakan
pada wacana bahasa Inggris. Namun kadang guru perlu mengevaluasi bacaan yang
terdiri atas kata-kata yang jumlahnya kurang dari seratus buah, seperti
pertanyaan-pertanyaan dalam tes, petunjuk untuk melakukan kegiatan tertentu,
pengumuman-pengumuman singkat, atau petunjuk-petunjuk penggunaan obat-obatan
tertentu. Untuk menentukan wacana-wacana yang demikian yang jumlah katanya
kurang dari seratus perkiraan kita dapat menggunakan prosedur penggunaan grafik
fry, dengan mengacu pada daftar konversi grafik fry.
Langkah-langkah
yang harus dilakukan dalam menganalisis wacana yang kata-katanya kurang dari
seratus yaitu sebagai berikut. Prosedur kerja untuk menempuh langkah-langkah
grafik fry yang wacananya kurang dari 100 kata: Langkah (1) Hitunglah jumlah
kata dalam wacana yang akan diukur tingkat
keterbacaannya itu dan bulatkan pada bilangan puluhan yang terdekat. Jika
wacana tersebut terdiri atas 54 buah kata, misalnya, maka jumlah tersebut
diperhitungkan sebagai 50, jika jumlah wacana itu ada 26 buah, maka
bilangan kebulatannya adalah 30. Langkah (2) Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana tersebut Kegiatan ini dilakukan dengan cara sama seperti langkah 2 dan 3 pada petunjuk penggunaan grafik fry. Langkah (3) Selanjutnya, perbanyak jumlah kalimat dan suku kata (hasil penghitungan 2
tersebut) dengan angka-angka yang ada dalam daftar konversi. Dengan demikian guru dapat menggunakan lagi grafik fry. Dengan kata lain data
yang diplotkan ke dalam grafik adalah daftar yang telah diperbanyak dengan
daftar konversi.
keterbacaannya itu dan bulatkan pada bilangan puluhan yang terdekat. Jika
wacana tersebut terdiri atas 54 buah kata, misalnya, maka jumlah tersebut
diperhitungkan sebagai 50, jika jumlah wacana itu ada 26 buah, maka
bilangan kebulatannya adalah 30. Langkah (2) Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana tersebut Kegiatan ini dilakukan dengan cara sama seperti langkah 2 dan 3 pada petunjuk penggunaan grafik fry. Langkah (3) Selanjutnya, perbanyak jumlah kalimat dan suku kata (hasil penghitungan 2
tersebut) dengan angka-angka yang ada dalam daftar konversi. Dengan demikian guru dapat menggunakan lagi grafik fry. Dengan kata lain data
yang diplotkan ke dalam grafik adalah daftar yang telah diperbanyak dengan
daftar konversi.
Catatan
penting tentang grafik Fry
1. Untuk
mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, maka hendaknya dilakukan pengukuran
sebanyak 3 kali percobaan dengan pemilihan sampel dari wacana bagian awal buku,
bagian tengah buku, dan bagian akhir buku. Kemudian hitung hasil rata-ratanya.
2. Grafik
Fry merupakan penelitian untuk wacana bahasa inggris. Padahal struktur bahasa
inggris berbeda jauh dengan bahasa Indonesia, terutama dalam hal suku katanya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, tidak akan pernah didapati wacana dalam bahasa
Indonesia cocok untuk peringkat kelas di dalam grafik Fry. Sebab titik temunya
pasti berada pada daerah yang diarsir. Seperti contoh, telah diketahui
rata-rata jumlah kalimat 12,5 dan suku katanya 228 setelah diplotkan titik
temunya berada di daerah arsiran. Oleh karena itu ditambah 1 langkah lagi yaitu
dengan mengkalikan jumlah suku kata dengan angka 0.6. jadi pada contoh diatas
tadi didapati rata-rata humlah kalimat 12,5 dan jumlah suku kata 228*0,6=136,8
dibulatkan menjadi 137. Setelah diplotkan hasilnya jatuh di wilayah 4. Dengan
emikian wacana tersebut cocok untuk peringkat 3, 4, 5.
Daftar
konversi untuk grafik Fry
Untuk menentukan tingkat keterbacaan pada wacana yang jumlah katanya kurang
dari seratus perkataan, para ahli telah menemukan jalan pemecahan yang cukup
sedarhana.
Langkah
1
Hitunglah jumlah kata dalam wacana dan bulatkan pada bilangan puluhan terdekat
Langkah
2
Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana.
Langkah
3
Perbanyak jumlah kalimat dan suku kata dengan angka-angka yang ada dalam daftar
konversi.
30
= 3,3
40
= 2,5
50
= 2,0
60
= 1,67
70 =
1,43
80 =
1,25
90
= 1,1
Sebagai contoh: ada sebuah wacana
didapati jumlah katanya ada 34 buah,dibulatkan menjadi 30 buah. Jumlah
kalimatnya ada 2 kalimat. Jumlah suku katanya ada 60 suku kata. Angka konversi
untuk perbanyakan jumlah kalimat dan suku kata untuk jumlah 30 adalah 3,3.
Dengan demikian
-
jumlah kalimat : 2*3,3= 6,6
-
Jumlah suku kata :60*3,3= 198
Setelah
diplotkan jatuh pada wilayah universitas.
2.
Formula Keterbacaan
Grafik Raygor
Formula
keterbacaan Raygor diperkenalkan oleh Alton Raygor, yang selanjutnya grafik ini
disebut grafik Raygor. Formula ini tampaknya mendekati kecocokan untuk
bahasa-bahasa yang menggunakan huruf latin. Grafik Raygor tampak terbalik jika
dibandingkan dengan Grafik Fry. Namun, kedua formula keterbacaan tersebut
sesungguhnya mempunyai prinsip-prinsip yang mirip.
Petunjuk
penggunaan Grafik Raygor.
a. Mengitung
100 buah perkataan dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya
sebagai sampel. Deretan angka tidak dipertimbangkan sebagai kata. Oleh
karenanya, angka-angka tidak dihitung ke dalam perhitungan 100 buah kata.
b. Menghitung
jumlah kalimat sampai pada persepuluhan terdekat. Prosedur ini sama dengan
prosedur Fry dalam menghitung rata-rata jumlah kalimat.
c. Menghitung
jumlah kata-kata sulit, yakni kata-kata yang dibentuk oleh 6 huruf atau
lebih. Kriteria tingkat kesulitan sebuah kata di sini didasari oleh
panjang-pendeknya kata, bukan oleh unsur semantisnya. Kata-kata yang tergolong
ke dalam kategori sulit itu adalah kata-kata yang terdiri atas enam atau lebih
huruf. Kata-kata yang jumlah hurufnya kurang dari enam, tidak digolongkan ke
dalam kata sulit.
d. Hasil
yang diperoleh dari langkah dua dan tiga itu dapat diplotkan ke dalam grafik
Raygor untuk menentukan peringkat keterbacaan wacananya.
Kelebihan
dari penggunaan grafik Raygor, yakni dalam hal efisiensi waktu, pengukuran
keterbacaan wacana dengan grafik Raygor ternyata jauh lebih cepat daripada
melakukan pengukuran keterbacaan dengan menggunakan grafik Fry.~Sela Carina
Tamara dan Rahayu Saktiningsih
3. Flesch Reading Ease/Plesch-Kincaid
Grade Level Tools
Pengukuran
keterbacaan dengan menggunakan alat ini dapat dilakukan dengan menggunakan
Microsoft Word (MS) dalam komputer. Naskah wacana dimasukkan dalam MS. Sesudah
naskah dibuka, pilih dan klik tombol Tool pada menu layar Microsoft Word.
Sesudah menu Tool dibuka, pilih dan klik tombol Grammar. Printah ini akan
menyuruh MS membaca dan memeriksa ejaan dan tata bahasa dalam naskah wacana
itu. Apabila ditemukan kesalahan atau hal-hal yang kurang lazim, MS akan
menawarkan beberapa alternatif pilihan. Sesudah MS melakukan pemeriksaan ejaan
dan tata kalimat, pada layar komputer akan diperlihatkan statistik dalam tiga
kategori: Counts, Averages, dan Readability. Cari pada Readability untuk data
keterbacaan dengan istilah Flesch Reading Ease (kemudahan membaca) dan Flesch-Kincaid
Grade Level (tingkat pembaca). Angka Flesch Reading Ease seharusnya 60 atau
lebih agar sesuai untuk pembaca tingkat 8 (kelas 2 SLTP). Atau untuk kesesuaian
tingkat pembaca ini dapat juga dilihat pada Flesch-Kincaid Grade Level. Masalah
dalam penggunaan cara ini ialah bahwa MS belum membuat program untuk semua
bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Dengan demikian cara ini dapat dipakai untuk
wacana dengan bahasa yang sudah ada dalam kamus MS.
4. SMOG Test
Test SMOG
(Simplified Measure of Gobbledygook) adalah cara lain yang cepat, mudah, dan
konsisten dalam menentukan tingkat keterbacaan. Akan tetapi cara ini dianggap
kurang sesuai untuk pembaca di bawah kelas enam.
Cara menggunakan test ini ialah sebagai berikut:
Cara menggunakan test ini ialah sebagai berikut:
a.
Pilih tiga sample dari 10 kalimat yang
berurutan dari bagian-bagian yang berbeda dalam keseluruhan bahan wacana,
sehingga jumlah secara keseluruhan paling sedikit 100 kata.
b.
Hitung jumlah kata yang terdiri atas
tiga suku kata atau lebih dalam 30 kalimat.
c.
Hitung hasil akar dari jumlah kata
itu (b).
d.
Tambahkan 3 dan hasilnya adalah
tingkat pembaca yang sesuai.
Contoh:
Contoh:
a)
Jumlah kata yang terdiri atas 3 suku
kata atau lebih adalah 64.
b)
Hasil akar dari 64 adalah 8
c)
8 + 3 = 11. Jadi tingkat pembaca
yang sesuai adalah kelas 2 SLTA.
5. Cloze Test
Cloze test, yang
diperkenalkan oleh Wilson L. Taylor pada tahun 1953, adalah sejenis test dalam
bentuk wacana dengan sejumlah kata yang dikosongkan (rumpang) dan pengisi test
diminta mengisi kata-kata yang sesuai di tempat yang dikosongkan itu. (Hornby,
2000). Kata “cloze” itu bermakna proses penutupan sementara (Oller, 1979).
Disebut dengan penutupan sementara karena sejumlah kata dalam wacana itu
dihilangkan atau ditutup secara sistematis untuk diisi dengan cara menerka
berdasarkan konteks isi wacana itu. Kebenaran isi jawaban akan dilihat dari
nakah asli wacana tersebut. Ada tiga cara menghilangkan kata tersebut:
a. Menghilangkan
kata pada urutan tertentu secara konsisten, tanpa membedakan jenis kata. Cara
ini disebut the fixed-ratio method. Misalnya, apabila dipilih kata yang
dihilangkan itu adalah kata yang ke-5, maka setiap kata yang kelima (apakah
kata asing, nama diri, akronim, atau singkatan) dihilangkan secara konsisten.
Cara ini biasanya dipakai apabila kata-kata dalam wacana itu dianggap sudah
biasa bagi pengisi test.
b. Menghilangkan
kata pada urutan tertentu dengan ketentuan sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan pembuat test. Misalnya, kata itu akan dihilangkan apabila termasuk
kata benda atau kata kerja, atau jenis kata lain yang ditentukan oleh pembuat
test. Cara ini disebut the variables-fixed ratio. Cara ini biasanya dipakai
apabila pembuat test ingin mengetahui tingkat kesulitan kata-kata yang
tergolong ke dalam jenis-jenis kata yang ditetapkannya.
c. Menghilangkan
kata pada urutan tertentu secara sistematis tetapi apa bila kata pada urutan
tertentu itu adalah nama tempat, nama diri, angka, tanggal, bulan, tahun atau
istilah, maka kata itu dilampaui dan dipilih kata berikutnya. Hal ini dilakukan
karena kata-kata itu sulit diterka atas dasar konteks kalimat. Cara ini disebut
the modified fixed-ratio method. Cara ini banyak dipakai untuk wacana yang
mengandung banyak istilah atau nama diri.
Cloze test
yang kemudian juga dipakai untuk menguji pemahaman membaca (reading
comprehension), pada awalnya dibuat untuk menguji keterbacaan . (Heaton, 1975).
Melalui test ini dapat diketahui kesulitan calon pengguna dalam mengisi
kata-kata yang dikosongkan (rumpang) secara teratur dalam suatu uraian. Semakin
dekat jarak kata yang dikosongkan, mungkin semakin sulit mengerjakan soal itu
dan sebaliknya. Kata yang dibuang (dikosongkan) itu biasanya setiap kata yang
kelima atau yang ketujuh. Karena kata yang dipilih mungkin saja kata yang
maknanya sama (sinonim) dengan kata aslinya, maka sinonim kata itu dapat juga
dianggap benar. Akan tetapi apabila diharapkan kata yang diisikan adalah kata
yang persis sama dengan kata aslinya (kata yang dibuang) maka huruf awal kata
itu dituliskan dan huruf-huruf berikutnya dikosongkan. Semakin sedikit
kesalahan yang dibuat oleh pengisi test, berarti semakin tinggi tingkat
keterbacaan naskah tersebut dan sebaliknya, semakin banyak kesalahan yang
dibuat berarti semakin rendah tingkat keterbacaannya.
Prosedur yang ditempuh dalam menggunakan test ini ialah sebagai berikut:
Prosedur yang ditempuh dalam menggunakan test ini ialah sebagai berikut:
1. Pilihlah
tiga buah uraian dalam naskah atau buku tersebut secara acak, masing-masing
pada bagian awal, tengah dan akhir. Uraian yang dipilih hendaknya berdiri
sendiri dan utuh dalam arti mempunyai satu konsep atau ide. Panjang uraian
kurang lebih 250 kata.
2. Uraian yang
dipilih hendaknya menarik bagi calon pengguna.
3. Hindari
uraian yang banyak menggunakan nama diri, seperti nama orang dan nama tempat.
4. Salin
kembali masing-masing uraian tersebut dengan ketentuan:
a.
Berikan judul untuk masing-masing
uraian untuk memberikan gambaran umum tentang isi uraian,
b.
Tulis kembali kalimat pertama
masing-masing uraian secara utuh untuk memberikan gambaran isi uraian lebih
spesifik.
c.
Untuk kalimat-kalimat berikutnya,
buang setiap kata ke lima atau kata ketujuh secara teratur. Kata berulang
dihitung dua kata. Kalau pembaca diharapkan mengisi kata yang dikosongkan itu
tepat seperti kata aslinya, tuliskan huruf awal kata itu dan diikuti dengan
strip sebanyak sisa huruf kata tersebut ( misalnya, kata yang dibuang ialah
warung, maka ditulis w_ _ _ _ _)
d.
Tuliskan kalimat terakhir
masing-masing uraian secara utuh untuk memberikan gambaran tentang isi uraian
secara lebih lengkap.
5. Pilih secara
acak sesedikitnya sepuluh calon pengguna naskah tersebut untuk mengerjakan test
itu.
6. Berikan petunjuk
yang jelas, termasuk tujuan diberikannya test bahwa yang ingin diketahui
bukanlah kemampuan membaca mereka tetapi tingkat keterbacaan naskah itu
sendiri. Kata yang dikosongkan diisi hanya dengan satu kata yang dianggap
paling sesuai dengan maksud kalimat dan uraian,
Tingkat kesulitan keseluruhan naskah dapat dilihat dari jumlah kata yang benar diisikan pada test itu. Hasil dengan menggunakan Cloze Test ini dapat dikategorikan sebagai berikut.
Tingkat kesulitan keseluruhan naskah dapat dilihat dari jumlah kata yang benar diisikan pada test itu. Hasil dengan menggunakan Cloze Test ini dapat dikategorikan sebagai berikut.
Jumlah kata yang benar Tingkat kesulitan
a.
> 50 % “Mudah” dalam arti pembaca
mengerti isi bacaan.
b.
>35% – 50% “Agak Sukar” dalam arti pembaca
memerlukan bantuan untuk mengerti isi bacaan
c.
<35 % – 35 % “Sangat Sukar”, dalam arti
pembaca tidak dapat memahami isi bacaan.
Hasil test
tersebut dapat dilihat secara individual dan kelompok. Dapat terjadi hasil
masing-masing individu secara signifikan berbeda karena latar belakang dan
pengalaman yang berbeda. Dengan demikian, mungkin saja suatu bahan bacaan
sangat sulit bagi orang tertentu tetapi sangat mudah bagi orang lain dalam
kelompok yang sama. Akan tetapi dalam kaitannya dengan bahan bacaan yang
dipergunakan dalam kelas maka hasil rata-rata dalam kelompok biasanya yang
digunakan.
6.
Fog Index
Kalau Cloze
Test dipergunakan dengan mengujikan bahan bacaan itu kepada calon penggunanya,
Fog Index dipergunakan oleh penulis, editor atau guru sendiri, tanpa
ketergantungan kepada orang lain. Fog Index dipergunakan dengan
mengidentifikasi kata-kata sulit dalam suatu uraian. Dalam bahasa Inggris
kata-kata sulit itu dianggap antara lain ialah kata yang dalam mengucapkannya
terdiri atas lebih dari satu suku kata.
Prosedur
yang ditempuh dalam menggunakan Fog Index adalah sebagai berikut,
1. Pilihlah
tiga jenis uraian dalam naskah atau buku itu secara acak yang terdiri atas
masing-masing pada bagian awal, tengah, dan akhir.
2. Untuk
masing-masing uraian, hitunglah 100 kata mulai dari awal uraian. Berikan tanda
pada kata yang keseratus itu dengan ketentuan:
a.
Kata berulang dihitung dua kata.
b.
Kata yang digunakan lebih dari satu
kali dihitung satu kata.
c.
Kata singkatan dan angka (lebih dari
satu angka seperti 5000) dihitung satu kata.
3. Hitunglah
rata-rata panjang kalimat yang lengkap dalam uraian itu dengan cara:
a.
Carilah tanda titik terakhir
(sebagai tanda akhir kalimat) sebelum kata yang keseratus tersebut. Hitung dari
awal uraian berapa kalimat yang sempurna sampai titik terakhir sebelum kata
yang keseratus itu.
b.
Hitung jumlah kata dari titik
terakhir sampai dengan kata yang keseratus itu. Kemudian jumlah kata itu dipergunakan
sebagai angka pengurang dari 100 kata, maka akan diperoleh jumlah kata dalam
kalimat lengkap yang terdapat sampai pada kata yang keseratus itu.
c.
Bagilah hasil pengurangan itu dengan
jumlah kalimat lengkap (sampai kata yang keseratus) maka diperoleh jumlah
rata-rata kata dalam kalimat lengkap.
4. Carilah
kata-kata yang berjumlah dua suku kata atau lebih sampai kata yang keseratus
dan hitung berapa jumlahnya Kata-kata yang demikian dianggap kata-kata sukar.
5. Kemudian
dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
2(RPK + KS)
—————– + 5
5
—————– + 5
5
RPK = Rata-rata Panjang Kalimat
KS = Kata-kata sukar
KS = Kata-kata sukar
6.
Hasil perhitungan dapat
dikategorikan sebagai berikut
Hasil Kategori
a.
12 – 20 Sukar
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keterbacaaan
(redability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bahan bacaan bagi
pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya.
Terdapat berbagai macam formula keterbacaan, antara lain yaitu: grafik fry,
grafik raygor, flesch reading ease, SMOG test, cloze test, dan fog index.
B.
Saran
1. Dalam
melaksanakan pembelajaran membaca hendaknya guru mengetahui benar teori-teori
membaca dan keterbacaan
2. Sebaiknya
guru mampu dan menguasai dalam menerapkan formula-formula keterbacaan
DAFTAR PUSTAKA
·
Abidin, Yunus. (2010).
Strategi Membaca Teori dan Pembelajaran. Bandung: RIZQI Press
0 komentar:
Posting Komentar